Selasa, 17 Desember 2013

Juara Menulis cerpen SMKN 6 Garut

Assalamualaikum...
Setelah hari sebelumnya Na memposting Juara 1 lomba cipta puisi, next Na mau kasih semua sebuah cerpen yang menjadi juara 1 pada Bulan Bahasa tahun 2013. Cerpen ini ditulis oleh teman sekolah Na.. Semoga bermanfaat :)


Butiran Air Mata Terakhir

Musim panas di kota bandung. Saat ini terlihat sangat berbeda, entah ada angin apa yang membuat kota bandung terlihat berbeda. Hiruk pikuk di sepanjang jalan raya seolah menjadi makanan sehari-hari. Namun semua itu tak urung membuat Annisa seorang siswa SMA itu terganggu. Pembicaraan orang-orang disekitarnya tak sedikit pun ia gubris. Yang ada dipikirannya hanya satu, Angga. Satu-satunya kakak yang ia miliki dan kini tengah terbaring lemah di rumah sakit.
Rasanya baru kemarin ia melihat senyum sosok seorang kakak yang ia miliki. Dan kini sosok tersebut harus terbujur kaku, seolah tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan untuk dirinya.
Tetesan air mata pun tak tertahan lagi. Perlahan butiran air mata itu mulai membasahi pipi gadis remaja ini. Jika diingat rasanya baru kali ini ia meneteskan air mata hanya untuk merasa iba pada orang lain termasuk kakaknya sendiri.
Rasa sedih dan kecewa kini tengah memenuhi relung hati Annisa
“ kakak, aku mohon cepat sembuh.”
Annisa berkata penuh harap, meski ia tak yakin apakah kakaknya itu dapat mendengarkan perkataannya. Tapi di sisi lain, Annisa yakin meski saat ini ia tak menampakkan diri di hadapan kakaknya, tapi hati kak Angga mampu mendengar isi hati Annisa, adiknya Annisa ingat saat terakhir kali ia dimarahi oleh kak Angga satu minggu yang lalu ketika ia hendak berangkat sekolah.
“ Ade, ini bagaimana? Jangan berbicara kasar kepada Ibu. Meski begitu, ia tetap Ibu kita de, Orang tua kita!”
Tak pernah Annisa melihat tatapan kak Angga yang begitu marah kepada dirinya yang ia tahu kak Angga adalah seorang kakak yang begitu baik, jangan untuk marah untuk melotot kepada adiknya pun ia tidak pernah kalau dilihat dari penampilan, bisa dibilang kak Angga ini orangnya memang “cupu” alias culun punya. Setiap hari ia pergi kuliah dengan mengenakan kaca mata dan tak pernah lupa membawa buku pelajaran. Jika ditanya masalah pacar jelas kak Angga tak pernah pacaran.
Tapi hari ini kak Angga terlihat sangat berbeda, ia menatap dengan tatapan yang begitu tajam. Ingin rasanya Annisa menangis da menyesali perkataannya terhadap ibu yang sempat ia ucapkan barusan. Namun tidak bisa rasanya bibir ini kelu, terlalu berat untuk mengucapkan satu kata pun.
Karena tidak ingin melihat kak Angga lebih marah lagi Annisa pun pergi ke kamar untuk mengurung diri. Rasanya ia butuh waktu sebentar hanya untuk menenangkan diri. Ada banyak kejanggalan yang ingin ia ungkapkan namun tetap tidak bisa.
“ Ah ... hidup ini sungguh tidak adil. Mengapa aku ditakdirkan untuk hidup miskin? Semua teman-temanku terlahir dari orang tua yang kaya raya. Sedangkan aku? Aku hanyalah seorang anak tukang gorengan. Ini semua tidak adil.”
Annisa terisak di dalam kamar. Ia menumpahkan semua amarahnya diatas bantal. Banyak air mata yang mengalir membasahi pipi gadis itu.
“ De, buka pintunya! Kakak mau bicara sebentar. Pinta kak Angga
“ Enggak! Pokoknya Nisa mau sendiri dulu, kak! Nisa gak mau diganggu.”
“ Sebentar saja, kakak mohon.”
Prak ... Nisa membanting foto pigura yang terpajang di kamarnya. Menandakan bahwa untuk saat ini, ia sangat-sangat tidak ingin diganggu. Mendengar suara pecahan foto pigura tersebut kak Angga hanya menyerah dan tak ingin memaksa adiknya untuk berbicara.
Setelah tahu bahwa kak Anggatelah meninggalkan kamar, Annisa kembali terisak ditatapnya langit-langit kamar yang bisu. Pikiran Annisa jauh menerawang sampai batas yang tak bisa diukur hingga ia tidur terlelap dengan perasaan lembab di pipi bekas tangisannya.
Angin semilir berhembus dengan indah. Cahaya matahari dengan malu-malu menyapa. Sinar yang memaksa masuk melalui celah-celah bilik seolah memaksa seorang gadis untuk bangun pagi ini. Perlahan-lahan ia membuka kelopak matanya yang sebenarnya masih ingin menutup.
“ Annisa cepat bangun, Nak!  Pagi ini kamu harus sekolah nanti kamu kesianga.”
Tiba-tiba terdengar suara dari luar pintu kamar Annisa. Yang ia tahu suara itu hanyalah milik ibunya seorang.
“ Annisa sudah bangun, Bu ?” tanya kak Angga.
“ Belum, coba kamu yang bangunkan mungkin ia mau.” Pinta Ibu.
Belum juga kak Angga mengetuk pintu, Annisa sudah membukanya.
“ iya bawel, Nisa udah bangun.”
Dengan ketus Annisa menampakkan dirinya dengan sepasang mata yang lembab sisa tangisan kemarin.
“Nisa, kamu masih marah karena kejadian kemarin? Ibu mohon maafkan Ibu. Bukannya Ibu tidak sayang sama Nisa. Tapi Ibu belum punya uang.” Ibu berkata dengan penuh sesal. Namun Annisa tidak menghiraukannya ia malah bergegas pergi ke kamar mandi. Menyaksiakan hal itu kak Angga hanya geleng-geleng kepala. Ia tahu kelakuan adiknya kali ini sudah keterlaluan pikirnya, Annisa sudah bukan anak kecil lagi, ia sudah SMA sudah sepatutnya ia belajar untuk berpikir dewasa. Bukan bertindak kekanak-kanakan seperti ini.
Selang waktu beberapa menit Annisa sudah siap pergi ke sekolah dengan penampilan yang aduhai. Siapa pun yang melihatnya pasti tidak akan pernah menyangka bahwa Annisa itu adalah anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu. Dengan menenteng tasberwarna ungu, warna kesukaannya Nisa pergi berlalu begitu saja tanpa pamit kepada Ibu ataupun kakaknya.
“ Annisa, tunggu dulu kamu tidak mau sarapan dengan kakakmu terlebih dahulu?”
Lagi-lagi ibunya pun tak ia gubris. Dengan cepat Annisa menghilang di tengah keramaian orang. Maklum, rumah Annisa terletak di pinggiran kota. Jarak antara rumah dengan jalan raya tidak terlalu jauh. Hanya dengan menggunakan jurus seribu langkah demi menghindari sarapan yang dibuatkan oleh ibu itu sudah menjadi kebiasaannya.
Alasan Annisa tidak mau sarapan adalah ia pikir makanan yang dibuatkan oleh Ibunya sudah terlalu kuno. Mentang-mentang Ibunya penjual gorengan, masak tiap hari sarapannya dengan gorengan pula. Annisa menganggap itu tidak sesuai dengan levelnya.
“ Sudahlah, Bu. Annisa anaknya memang seperti itu. Hari ini Angga tidak akan masuk kuliah, Angga akan bantu cari uang untuk membeli handphone yang baru untuk Annisa. Ibu tenang saja, Angga hanya minta do’anya supaya Angga diterima kerja ya.” Dengan penuh tutur lembut kak Angga menyampaikan niatnya.
Ibu hanya menghela nafas panjang. Ia bingung antara harus merasa bersalah atas kegagalannya menjadi seorang Ibu atau harus terharu karena memiliki seorang anak seperti kak Angga. Yang ia lakukan hanyalah bisa tersenyum dengan tetsan air mata yang perlahan hadir dari kelopak matanya.
+*+*+
“ Nisa...Nisa...”
Mendengar namanya yang dipanggil Annisa pun membalikan badannya. Ia kenal dengan suara khas milik temannya itu. Yang apabila boleh jujur suara kawannya itu tidak jauh berbeda dengan sura kaleng bekas yang dipukul.
“ Nisa...Nisa... pulang sekolah nanti kita jadikan hangout bareng temen-temen.” Sri dengan nafas terengah-engah mencoba menyampaikan ajakkannya. Tanpa berpikir panjang Annisa tersenyum dan mengangguk pertanda ia menyetujui ajakan temannya itu. Melihat respon Annisa, Sri pun tampak senang. Ia lalu berjalan mengikuti langkah Annisa menuju ke kelas.
Seperti biasa sepulang sekolah Annisa memang selalu keluyuran. Ia tidak pernah pulang tepat waktu. Menghabiskan waktu di sekolah? Sibuk dengan Organisasi? Itu jelas bukan sifat dan kebiasaan sosok Annisa. Meski Annisa ini adalah anak yang terlahir dari orang miskin. Tapi tingkah lakunya tidak mencerminkan seperti itu. Di sekolah Annisa bukanlah tipe siswa yang tergolong baik. Sifatnya yang urakan, sombong, suka mengatur, dan pilih-pilih teman memang tergambar dari dirinya. Namun semua itu sangat bertolak belakang dengan keadaan hidupnya semua orang terkesan bahwa Annisa itu, “ sudah miskin, sombong! Benar-benar tidak tahu diri.”
Sering kali Annisa melakukan kesalahan dan dihukum oleh gurunya. Namun semua itu tidak membuatnya jera. Bahkan untuk beberapa bulan terakhir ini Ibunya diharuskan bulak-balik dari ruang BP. Dan alasan itu semua tak lain karena kelakuan Annisa anak bungsunya. Kadang Ibu sangat kesal dengan kelakuan anaknya itu. Berbeda sekali dengan kak Angga meski terbilang ia kurang pergaulan tapi prestasinya di sekolah sangat mengharumkan. Dari mulai kak Angga menginjakkan kaki di Sekolah Dasar sampai saat ini ia selalu mendapatkan peringkat pertama. Bahkan ia berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliaj, sedangkan Annisa? Sangat jauh berbeda.
“ Annisa, lihat deh. Handphonenya Siska baru lagi tahu. Hah... benar-benar anak konglomerat, apapun yang diinginkannya pasti dituruti. Enak ya jadi Siska..! ”
Lagi-lagi Annisa merasa iri dengan keadaan seperti ini. Ingin rasanya Annisa membuktikan pada mereka, bahwa ia juga bisa seperti itu. Memiliki banyak uang, Handphone bagus, bahkan laptop yang canggih. Tapi semua itu tidak bisa ia wujudkan dengan keadaan seperti ini. Annisa marah, ia murka pada Tuhan, ia tidak senang dengan keadaan seperti ini. Tuhan sangat tidak adil.
Buuk... Annisa memukul meja dan pergi keluar meninggalkan kelasnya. Yang ingin ia lakukan hanya berlari-lari dan berlari. Ia malu diejek oleh teman-temannya hanya karena ia adalah anak seorang tukang gorengan. Ia tidak ingin terus-terusan dalam keadaannya hidup miskin. Ia kesal kepada ayah yang tega meninggalkan Ibunya demi perempuan lain. Ia tak senang karena Ibu selalu lebih menganggap kak Angga sebagai anaknya. Ia iri dengan kehidupan teman-temannya yang lebih beruntung. Annisa becnci keadaan seperti ini. Annisa ingin hidup bahagia seperti anak remaja normal pada umumnya. Yang bisa hidup bebas dengan berbagai kebahagiaan di sekelilingnya.
“ Ah.. Aku benci semua ini...! Aku tidak ingin hidup miskin...! Tuhan benar-benar tidak adil...! Aku benci Ibu... Aku benci kakak.. Aku benci pada Tuhan..! Ia tak pernah ada..! Aku ingin mati saja...”
Setengah berlari Annisa menyebrang jalan tanpa memperdulikan kendaraan berlalu lalang.
“ Annisa... Annisa.. tunggu kakak... Annisa jangan melakukan hal bodoh seperti itu!
Annisa...!
Brak... Bunyi sebuah mobil menabrak sosok yang memanggil Annisa tersebut. Tubuhnya lemas terbujur kaku. Annisa yang kebingungan, enggan menoleh ke belakang untuk melihat apa yang terjadi. Dengan berat Annisa melangkahkan kaki. Ia berlari dengan sekuat tenaga menembus kerumunan orang-orang.
“ Kak Angga...! Jangan tinggalkan Nisa...! Aku mohon. Nisa tidak bisa hidup sendiri. Nisa butuh kakak maafkan Nisa. Nisa tahu ini semua salah Nisa.. Jangan pergi Kak..”
Annisa terisak melihat kakaknya berlumuran darah, detak jantungnya seolah berhenti menyaksikan orang yang ia sayangi tak mampu berkata apa-apa lagi.
Kak Angga hanya bisa memberikan sebuah bingkisan yang ada di genggaman tangannya sebuah handphone baru. Annisa tercengang hatinya remuk tak tertata. Tubuh Annisa melemas. Ia hanya bisa membiarkan tubuh kakaknya di angkot oelh orang-orang untuk dibawa ke Rumah Sakit. Keramaian yang ada sudah berubah menjadi kesunyian. Perlahan-lahan bayangan perilaku yang ia lakukan nampak jelas di matanya. Bagaimana ia berbicara kepada Ibu dengan perkataan yang kasar. Bagaimana ia tidak mau menerima keadaan hidupnya. Bagaimana ia selalu mengeluh, tak pernah berbakti kepada orang tua. Selalu melawan guru hingga Ibunya harus berulang kali mendatangi ruang BP, bahkan sampai menyalahkan kehendak Tuhan dan tak mau mendengar nasihat kak Angga.
Perlahan-lahan kesadaran itu mulai muncul. Annisa ingin menjadi anak yang baik. Ia tak ingin membebani Ibunya. Ia ingin menjadi anak kebanggaan Ibu seperti kak Angga. Annisa ingin berubah.
+*+*+
“ De.. de.. sudah sore. Jangan tidur disini, cepat pulang sana.”
Tiba-tiba seorang bapak pemulung barang bekas menghampiri Annisa. Membuyarkan semua mimpi tentang prilakunya ketika beberapa waktu lalu. Tepat sebelum kecelakaan yang menimpa kak Angga.
Dan kini ia sadar, bahwa untuk saat ini ia harus berubah saat ini yang harus ia lakukan adalah pergi menjenguk kak Angga yang terbaring di Rumah Sakit. Annisa berjanji mulai saat ini ia akan menjadi anak yang baik. Cukuplah kelakuannya yang kemarin menjadi tangisan terakhir untuk orang-orang yang ia sayangi. Kini jangan ada lagi tangisan karena seorang Annisa, melainkan harus ada senyuman karena seorang Annisa. Annisa tidak ingin menyia-nyiakan orang yang sangat menyayanginya. Cukup sampai kejadian kemarin tak ingin ia mengulanginya kembali.
“ TAMAT “

0 komentar:

Posting Komentar