Assalamualaikum...
Setelah hari sebelumnya Na memposting Juara 1
lomba cipta puisi, next Na mau kasih semua sebuah cerpen yang menjadi
juara 1 pada Bulan Bahasa tahun 2013. Cerpen ini ditulis oleh teman
sekolah Na.. Semoga bermanfaat :)
Butiran
Air Mata Terakhir
Musim
panas di kota bandung. Saat ini terlihat sangat berbeda, entah ada angin apa
yang membuat kota bandung terlihat berbeda. Hiruk pikuk di sepanjang jalan raya
seolah menjadi makanan sehari-hari. Namun semua itu tak urung membuat Annisa
seorang siswa SMA itu terganggu. Pembicaraan orang-orang disekitarnya tak
sedikit pun ia gubris. Yang ada dipikirannya hanya satu, Angga. Satu-satunya
kakak yang ia miliki dan kini tengah terbaring lemah di rumah sakit.
Rasanya
baru kemarin ia melihat senyum sosok seorang kakak yang ia miliki. Dan kini
sosok tersebut harus terbujur kaku, seolah tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan
untuk dirinya.
Tetesan
air mata pun tak tertahan lagi. Perlahan butiran air mata itu mulai membasahi
pipi gadis remaja ini. Jika diingat rasanya baru kali ini ia meneteskan air
mata hanya untuk merasa iba pada orang lain termasuk kakaknya sendiri.
Rasa
sedih dan kecewa kini tengah memenuhi relung hati Annisa
“ kakak, aku mohon
cepat sembuh.”
Annisa berkata
penuh harap, meski ia tak yakin apakah kakaknya itu dapat mendengarkan
perkataannya. Tapi di sisi lain, Annisa yakin meski saat ini ia tak menampakkan
diri di hadapan kakaknya, tapi hati kak Angga mampu mendengar isi hati Annisa,
adiknya Annisa ingat saat terakhir kali ia dimarahi oleh kak Angga satu minggu
yang lalu ketika ia hendak berangkat sekolah.
“ Ade, ini
bagaimana? Jangan berbicara kasar kepada Ibu. Meski begitu, ia tetap Ibu kita
de, Orang tua kita!”
Tak
pernah Annisa melihat tatapan kak Angga yang begitu marah kepada dirinya yang
ia tahu kak Angga adalah seorang kakak yang begitu baik, jangan untuk marah
untuk melotot kepada adiknya pun ia tidak pernah kalau dilihat dari penampilan,
bisa dibilang kak Angga ini orangnya memang “cupu” alias culun punya. Setiap
hari ia pergi kuliah dengan mengenakan kaca mata dan tak pernah lupa membawa
buku pelajaran. Jika ditanya masalah pacar jelas kak Angga tak pernah pacaran.
Tapi
hari ini kak Angga terlihat sangat berbeda, ia menatap dengan tatapan yang
begitu tajam. Ingin rasanya Annisa menangis da menyesali perkataannya terhadap
ibu yang sempat ia ucapkan barusan. Namun tidak bisa rasanya bibir ini kelu,
terlalu berat untuk mengucapkan satu kata pun.
Karena
tidak ingin melihat kak Angga lebih marah lagi Annisa pun pergi ke kamar untuk
mengurung diri. Rasanya ia butuh waktu sebentar hanya untuk menenangkan diri.
Ada banyak kejanggalan yang ingin ia ungkapkan namun tetap tidak bisa.
“
Ah ... hidup ini sungguh tidak adil. Mengapa aku ditakdirkan untuk hidup
miskin? Semua teman-temanku terlahir dari orang tua yang kaya raya. Sedangkan
aku? Aku hanyalah seorang anak tukang gorengan. Ini semua tidak adil.”
Annisa
terisak di dalam kamar. Ia menumpahkan semua amarahnya diatas bantal. Banyak
air mata yang mengalir membasahi pipi gadis itu.
“
De, buka pintunya! Kakak mau bicara sebentar. Pinta kak Angga
“
Enggak! Pokoknya Nisa mau sendiri dulu, kak! Nisa gak mau diganggu.”
“
Sebentar saja, kakak mohon.”
Prak
... Nisa membanting foto pigura yang terpajang di kamarnya. Menandakan bahwa
untuk saat ini, ia sangat-sangat tidak ingin diganggu. Mendengar suara pecahan
foto pigura tersebut kak Angga hanya menyerah dan tak ingin memaksa adiknya
untuk berbicara.
Setelah
tahu bahwa kak Anggatelah meninggalkan kamar, Annisa kembali terisak ditatapnya
langit-langit kamar yang bisu. Pikiran Annisa jauh menerawang sampai batas yang
tak bisa diukur hingga ia tidur terlelap dengan perasaan lembab di pipi bekas
tangisannya.
Angin
semilir berhembus dengan indah. Cahaya matahari dengan malu-malu menyapa. Sinar
yang memaksa masuk melalui celah-celah bilik seolah memaksa seorang gadis untuk
bangun pagi ini. Perlahan-lahan ia membuka kelopak matanya yang sebenarnya
masih ingin menutup.
“
Annisa cepat bangun, Nak! Pagi ini kamu
harus sekolah nanti kamu kesianga.”
Tiba-tiba terdengar
suara dari luar pintu kamar Annisa. Yang ia tahu suara itu hanyalah milik
ibunya seorang.
“
Annisa sudah bangun, Bu ?” tanya kak Angga.
“
Belum, coba kamu yang bangunkan mungkin ia mau.” Pinta Ibu.
Belum juga kak
Angga mengetuk pintu, Annisa sudah membukanya.
“
iya bawel, Nisa udah bangun.”
Dengan ketus Annisa
menampakkan dirinya dengan sepasang mata yang lembab sisa tangisan kemarin.
“Nisa,
kamu masih marah karena kejadian kemarin? Ibu mohon maafkan Ibu. Bukannya Ibu
tidak sayang sama Nisa. Tapi Ibu belum punya uang.” Ibu berkata dengan penuh
sesal. Namun Annisa tidak menghiraukannya ia malah bergegas pergi ke kamar
mandi. Menyaksiakan hal itu kak Angga hanya geleng-geleng kepala. Ia tahu
kelakuan adiknya kali ini sudah keterlaluan pikirnya, Annisa sudah bukan anak
kecil lagi, ia sudah SMA sudah sepatutnya ia belajar untuk berpikir dewasa.
Bukan bertindak kekanak-kanakan seperti ini.
Selang
waktu beberapa menit Annisa sudah siap pergi ke sekolah dengan penampilan yang
aduhai. Siapa pun yang melihatnya pasti tidak akan pernah menyangka bahwa
Annisa itu adalah anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu. Dengan
menenteng tasberwarna ungu, warna kesukaannya Nisa pergi berlalu begitu saja
tanpa pamit kepada Ibu ataupun kakaknya.
“
Annisa, tunggu dulu kamu tidak mau sarapan dengan kakakmu terlebih dahulu?”
Lagi-lagi ibunya
pun tak ia gubris. Dengan cepat Annisa menghilang di tengah keramaian orang.
Maklum, rumah Annisa terletak di pinggiran kota. Jarak antara rumah dengan
jalan raya tidak terlalu jauh. Hanya dengan menggunakan jurus seribu langkah
demi menghindari sarapan yang dibuatkan oleh ibu itu sudah menjadi
kebiasaannya.
Alasan Annisa tidak
mau sarapan adalah ia pikir makanan yang dibuatkan oleh Ibunya sudah terlalu
kuno. Mentang-mentang Ibunya penjual gorengan, masak tiap hari sarapannya
dengan gorengan pula. Annisa menganggap itu tidak sesuai dengan levelnya.
“
Sudahlah, Bu. Annisa anaknya memang seperti itu. Hari ini Angga tidak akan
masuk kuliah, Angga akan bantu cari uang untuk membeli handphone yang baru
untuk Annisa. Ibu tenang saja, Angga hanya minta do’anya supaya Angga diterima
kerja ya.” Dengan penuh tutur lembut kak Angga menyampaikan niatnya.
Ibu
hanya menghela nafas panjang. Ia bingung antara harus merasa bersalah atas
kegagalannya menjadi seorang Ibu atau harus terharu karena memiliki seorang
anak seperti kak Angga. Yang ia lakukan hanyalah bisa tersenyum dengan tetsan
air mata yang perlahan hadir dari kelopak matanya.
+*+*+
“
Nisa...Nisa...”
Mendengar namanya
yang dipanggil Annisa pun membalikan badannya. Ia kenal dengan suara khas milik
temannya itu. Yang apabila boleh jujur suara kawannya itu tidak jauh berbeda
dengan sura kaleng bekas yang dipukul.
“
Nisa...Nisa... pulang sekolah nanti kita jadikan hangout bareng temen-temen.”
Sri dengan nafas terengah-engah mencoba menyampaikan ajakkannya. Tanpa berpikir
panjang Annisa tersenyum dan mengangguk pertanda ia menyetujui ajakan temannya
itu. Melihat respon Annisa, Sri pun tampak senang. Ia lalu berjalan mengikuti
langkah Annisa menuju ke kelas.
Seperti
biasa sepulang sekolah Annisa memang selalu keluyuran. Ia tidak pernah pulang
tepat waktu. Menghabiskan waktu di sekolah? Sibuk dengan Organisasi? Itu jelas
bukan sifat dan kebiasaan sosok Annisa. Meski Annisa ini adalah anak yang
terlahir dari orang miskin. Tapi tingkah lakunya tidak mencerminkan seperti
itu. Di sekolah Annisa bukanlah tipe siswa yang tergolong baik. Sifatnya yang
urakan, sombong, suka mengatur, dan pilih-pilih teman memang tergambar dari
dirinya. Namun semua itu sangat bertolak belakang dengan keadaan hidupnya semua
orang terkesan bahwa Annisa itu, “ sudah miskin, sombong! Benar-benar tidak
tahu diri.”
Sering
kali Annisa melakukan kesalahan dan dihukum oleh gurunya. Namun semua itu tidak
membuatnya jera. Bahkan untuk beberapa bulan terakhir ini Ibunya diharuskan
bulak-balik dari ruang BP. Dan alasan itu semua tak lain karena kelakuan Annisa
anak bungsunya. Kadang Ibu sangat kesal dengan kelakuan anaknya itu. Berbeda
sekali dengan kak Angga meski terbilang ia kurang pergaulan tapi prestasinya di
sekolah sangat mengharumkan. Dari mulai kak Angga menginjakkan kaki di Sekolah
Dasar sampai saat ini ia selalu mendapatkan peringkat pertama. Bahkan ia
berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliaj, sedangkan Annisa?
Sangat jauh berbeda.
“
Annisa, lihat deh. Handphonenya Siska baru lagi tahu. Hah... benar-benar anak
konglomerat, apapun yang diinginkannya pasti dituruti. Enak ya jadi Siska..! ”
Lagi-lagi Annisa
merasa iri dengan keadaan seperti ini. Ingin rasanya Annisa membuktikan pada
mereka, bahwa ia juga bisa seperti itu. Memiliki banyak uang, Handphone bagus,
bahkan laptop yang canggih. Tapi semua itu tidak bisa ia wujudkan dengan
keadaan seperti ini. Annisa marah, ia murka pada Tuhan, ia tidak senang dengan
keadaan seperti ini. Tuhan sangat tidak adil.
Buuk...
Annisa memukul meja dan pergi keluar meninggalkan kelasnya. Yang ingin ia
lakukan hanya berlari-lari dan berlari. Ia malu diejek oleh teman-temannya
hanya karena ia adalah anak seorang tukang gorengan. Ia tidak ingin
terus-terusan dalam keadaannya hidup miskin. Ia kesal kepada ayah yang tega
meninggalkan Ibunya demi perempuan lain. Ia tak senang karena Ibu selalu lebih
menganggap kak Angga sebagai anaknya. Ia iri dengan kehidupan teman-temannya yang
lebih beruntung. Annisa becnci keadaan seperti ini. Annisa ingin hidup bahagia
seperti anak remaja normal pada umumnya. Yang bisa hidup bebas dengan berbagai
kebahagiaan di sekelilingnya.
“
Ah.. Aku benci semua ini...! Aku tidak ingin hidup miskin...! Tuhan benar-benar
tidak adil...! Aku benci Ibu... Aku benci kakak.. Aku benci pada Tuhan..! Ia
tak pernah ada..! Aku ingin mati saja...”
Setengah berlari
Annisa menyebrang jalan tanpa memperdulikan kendaraan berlalu lalang.
“
Annisa... Annisa.. tunggu kakak... Annisa jangan melakukan hal bodoh seperti
itu!
Annisa...!
Brak... Bunyi
sebuah mobil menabrak sosok yang memanggil Annisa tersebut. Tubuhnya lemas
terbujur kaku. Annisa yang kebingungan, enggan menoleh ke belakang untuk
melihat apa yang terjadi. Dengan berat Annisa melangkahkan kaki. Ia berlari
dengan sekuat tenaga menembus kerumunan orang-orang.
“
Kak Angga...! Jangan tinggalkan Nisa...! Aku mohon. Nisa tidak bisa hidup
sendiri. Nisa butuh kakak maafkan Nisa. Nisa tahu ini semua salah Nisa.. Jangan
pergi Kak..”
Annisa terisak
melihat kakaknya berlumuran darah, detak jantungnya seolah berhenti menyaksikan
orang yang ia sayangi tak mampu berkata apa-apa lagi.
Kak
Angga hanya bisa memberikan sebuah bingkisan yang ada di genggaman tangannya
sebuah handphone baru. Annisa tercengang hatinya remuk tak tertata. Tubuh
Annisa melemas. Ia hanya bisa membiarkan tubuh kakaknya di angkot oelh
orang-orang untuk dibawa ke Rumah Sakit. Keramaian yang ada sudah berubah
menjadi kesunyian. Perlahan-lahan bayangan perilaku yang ia lakukan nampak
jelas di matanya. Bagaimana ia berbicara kepada Ibu dengan perkataan yang
kasar. Bagaimana ia tidak mau menerima keadaan hidupnya. Bagaimana ia selalu
mengeluh, tak pernah berbakti kepada orang tua. Selalu melawan guru hingga
Ibunya harus berulang kali mendatangi ruang BP, bahkan sampai menyalahkan
kehendak Tuhan dan tak mau mendengar nasihat kak Angga.
Perlahan-lahan
kesadaran itu mulai muncul. Annisa ingin menjadi anak yang baik. Ia tak ingin
membebani Ibunya. Ia ingin menjadi anak kebanggaan Ibu seperti kak Angga.
Annisa ingin berubah.
+*+*+
“
De.. de.. sudah sore. Jangan tidur disini, cepat pulang sana.”
Tiba-tiba seorang
bapak pemulung barang bekas menghampiri Annisa. Membuyarkan semua mimpi tentang
prilakunya ketika beberapa waktu lalu. Tepat sebelum kecelakaan yang menimpa
kak Angga.
Dan
kini ia sadar, bahwa untuk saat ini ia harus berubah saat ini yang harus ia
lakukan adalah pergi menjenguk kak Angga yang terbaring di Rumah Sakit. Annisa
berjanji mulai saat ini ia akan menjadi anak yang baik. Cukuplah kelakuannya
yang kemarin menjadi tangisan terakhir untuk orang-orang yang ia sayangi. Kini
jangan ada lagi tangisan karena seorang Annisa, melainkan harus ada senyuman
karena seorang Annisa. Annisa tidak ingin menyia-nyiakan orang yang sangat
menyayanginya. Cukup sampai kejadian kemarin tak ingin ia mengulanginya
kembali.
“ TAMAT “
0 komentar:
Posting Komentar